Senin, 15 Juli 2013

Sang Pengemis, Para Hakim, dan Kita Semua

intinya kalau kita mau menolong ya menolong aja, dosa dan pahala kan hanya ALLAH yang tahu.
tetap istiqomah yahh dalam melakukan kebaikan :)





Saat aku masih duduk di bangku SMP, ada seorang pengemis tua yang selalu duduk di depan gerbang sekolah di pagi, siang, dan sore hari. Aku bertemu dengannya saat pagi-pagi, saat aku baru datang ke sekolah, dan sore hari saat aku dan teman-temanku pulang. Aku tidak pernah memberinya sepeser pun. Saat itu, ada doktrin sangat kuat yang mengatakan bahwa memberi uang kepada pengemis adalah perbuatan yang sangat tidak baik. Bahwa melakukannya bahkan merupakan dosa, bahwa itu berarti membuat mereka menjadi orang yang malas, orang yang tidak mau bekerja.
Beberapa bulan menjelang kelulusanku dari SMP, pengemis tersebut sudah tidak ada. Aku merasa bingung, namun aku diam saja saat itu. Hari-hari terakhir di SMP adalah saat-saat yang paling menyenangkan, di mana setiap berkumpul bersama teman adalah pesta, mengobrol bersama mereka adalah canda tawa, serta jam-jam yang dicuri untuk kisah kasih sekolah yang sangat belia. Aku sangat menikmati saat-saat tersebut, dan meskipun aku tidak memiliki begitu banyak teman di sana, aku sangat bahagia. Aku tidak begitu memedulikan ketidakhadirannya.Hingga akhirnya, pada suatu siang beberapa hari menjelang pesta perpisahan di sekolah, setelah menghabiskan siang yang panas dengan bermain basket bersama anak-anak kelas, aku membeli minuman dingin di warung depan sekolah. Saat aku duduk di bangku kayu tersebut, menatap gerbang sekolah yang kosong, aku teringat kembali akan si pengemis tersebut. Menoleh ke bapak-bapak penjaga warung yang sudah kukenal, aku bertanya padanya kemana gerangan si pengemis tersebut, dan kenapa dia tak pernah datang lagi.
Jawaban yang kuterima sangat singkat: “Dia sudah wafat.”
Setelah shock-ku mereda, aku kembali bercakap-cakap dengan si bapak penjaga warung. Beliau memberitahuku bahwa si pengemis tersebut usianya sudah 60 atau 70 tahun-an. Pengemis tersebut dulunya tinggal di sebuah desa nelayan di dekat pantai. Profesinya, sebagaimana penduduk desanya, adalah sebagai nelayan, dan konon dulunya dia juga memiliki reputasi sebagai nelayan yang tangguh, seorang jawara, dan banyak lagi.
Namun, kejayaannya tidak berlangsung lama. Anak-anaknya sudah pergi dari desa, tidak pernah kembali, kemudian istrinya meninggal, kapalnya akhirnya rusak, fisiknya akhirnya melemah, dan pembangunan merambah wilayahnya. Dia termasuk dari salah satu yang tak bisa bertahan, dan akhirnya terdampar di jalanan. Kalau malam, si pengemis tersebut biasa tidur di gubuk-gubuk yang banyak terdapat di kampung belakang sekolahku.
Setelah berpuluh tahun mengemis dan hidup di jalan, fisiknya akhirnya menyerah. Penyakit dan usia menyusulnya, dan maut akhirnya memanggilnya. Setelah itu, dia tak bisa, dan takkan pernah lagi, mengemis di depan sekolahku.
Dalam percakapan 10 menit tersebut, aku mengetahui lebih banyak tentang si pengemis tua yang selama dua tahun lebih kutemui dan kulewati setiap harinya di depan sekolahku. Pengemis yang tak pernah kusapa, kulirik, bahkan kuberi sepeser koin pun selama dua tahun lebih dia ada di kehidupanku.
.
Manager : pak, cape ya abis ngemis..? Laper ya pak..?
Pengemis : biasa aja tuh, hari ini udh makan 3x.
Manager : loh..? uangnya cuman buat makan bapak? anak dan istri di rumah makan apa?
Pengemis : kayak orang susah aja..! istri dan anak saya lagi di restoran tau! Tadi barusan telpon saya, mereka lagi makan di Kuningan.
Manager sampai kebingungan dan berkata : emank bapak ngemis 1 hari dapet brp..?
Pengemis : nih ya.. Saya kasi tau..!!Saya ngemis dari jam 07.00-17.00.Lampu merah atau hijau waktu nya 60 detik. Setiap 60 detik paling ngak saya bisa dapet 2.000. 1 jam = 60 kali lampu merah/Hijau. 60 x 2.000 = 120.000 /jam 1 hari saya kerja 10 jam, 1 jam buat istirahat jadi 9 jam. 9 jam x 120.000 = 1.080.000/hari. 1 bulan saya kerja 26 hari. 26 hari x 1.080.000 = 28.080.000/bulan.
dst.
Pernah dengar atau baca cerita seperti di atas? Mungkin pernah mungkin tidak, tapi saya 80% yakin teman-teman sedikitnya pernah mendengar mengenai cerita tersebut. Premise-nya sama: seorang manajer/pekerja/orang yang pekerja keras datang ke restoran/suatu tempat dan bertemu dengan seorang pengemis. Kemudian, pengemis tersebut bercerita, dengan sombongnya, betapa menjadi pengemis adalah pekerjaan yang sangat mudah dan menguntungkan. Hanya dengan duduk-duduk dan memasang muka merana, dia bisa mendapatkan uang dengan jumlah yang sama, bahkan melampaui, si manajer tersebut.
Doktrin-doktrin dan cerita-cerita tersebut telah ada cukup banyak dan cukup lama. Mungkin sejarahnya sudah ada sejak jaman internet pertama menginjak Indonesia, atau bahkan lebih lama lagi. Dalam cerita-cerita tersebut, pihak pengemis menjadi pihak yang sangat amat dipojokkan, digambarkan sebagai pure evil, pure cunningness, sementara si pekerja keras adalah the innocent one. Siapa pun yang familiar dengan kepenulisan cerita pendek, terutama yang bertemakan Fantasy dan Science Fiction, pasti tahu bahwa dalam sebagian besar cerita-cerita yang populer dan terkenal dan sukses terdapat dua bumbu tersebut: satu protagonis, satu antagonis. Satu sebagai penarik simpati, dan satu sebagai antipati.
Dan tahukah? Sebagian besar cerita-cerita tersebut berhasil. Setelah membaca cerita-cerita tersebut, para pembacanya – yang aku yakin targetnya adalah remaja dan ABG dan teman-temannya – akan merasa tidak suka pada si pengemis. Mereka akan merasa benci pada para pengemis. Dan dengan rasa benci yang besar tersebut, mereka menjadi takkan mau menolong pengemis-pengemis tersebut, bahkan tidak sepeser pun.
Kenapa hal ini terjadi? Karena sebagai pembaca, sebagian besar dari kita begitu mudahnya dapat terbawa arus, terbuai oleh kata-kata nan indah. Indah bukan dalam estetis, melainkan sintesis. Begitu mudahnya kita mengikuti, begitu sederhananya kata-kata dan ide di dalamnya, hingga kita tak berpikir kritis saat membaca cerita-cerita tersebut.
Ambillah contoh kisah Harry Potter. Dalam cerita tersebut, Lord Voldemort (there. I said his name!) digambarkan sebagai pure evil. Kisah masa mudanya pun menggambarkannya sebagai sosok yang heartless. Padahal, siapa pun pasti tahu bahwa tak ada manusia yang lahir sebagai orang jahat. Lingkungannya-lah yang membentuknya.
Aku pernah menuliskannya dalam sebuah esai, bertahun-tahun lalu: pernahkah ada yang membayangkan bagaimana rasanya hidup, sebagai anak yatim-piatu, di London pada masa Tom Riddle, aka. Voldemort, masih kecil? Tak mengetahui siapa orangtuamu, hidup di lingkungan yang begitu mengungkung, masyarakat yang begitu menghakimimu, dan sirene serangan udara yang siap berbunyi setiap harinya? Setiap malam tidur dalam lindungan kelambu, bertanya-tanya apakah kita masih akan terbangun dan hidup untuk menyaksikan hari esok?
Dan kalau pun terbangun, kehidupan yang sama buruknya pun masih menunggu. Tidak mungkin seorang anak melalui itu semua tanpa trauma, dan tidak mengherankan seorang anak bisa cukup trauma, cukup putus asa, cukup marah hingga rela menjual jiwanya demi menjadi Pangeran Kegelapan untuk menghancurkan dunia seperti itu.
Pernahkah ada yang memikirkan sisi Voldemort yang itu?
Kemudian, mari kita lihat dari sisi para pengemis. Bukan, bukan hanya para pengemis, tapi juga semua orang yang hidup di jalanan. Orang-orang seperti preman, anak jalanan, gelandangan, dan ‘sampah-sampah masyarakat’ lainnya.
Tahukah bagaimana rasanya hidup di jalanan? Tidak memiliki atap untuk berlindung, kedinginan di bawah jembatan, berjuang melawan angin, hujan, dan terik matahari. Dikerjai oleh anak-anak yang jahil, diincar oleh orang-orang jahat, diancam oleh para penguasa jalanan, dan diburu oleh para penegak hukum. Di beberapa kota, mereka bahkan disapu bersih hanya karena akan adanya acara-acara besar seperti event olahraga di kota-kota tersebut.
Tidur di malam hari dalam kedinginan, menggigil dan bertanya-tanya apakah bisa melewati malam dan mencapai esok hari. Kalau pun esok hari tiba, kehidupan yang sama masih menanti. Dalam kondisi seperti itu, layakkah bertahan hidup?
Sementara kita, para orang-orang berpendidikan, golongan ‘masyarakat berada’, bukannya menolong kita semaksimal mungkin, malahan merendahkan mereka. Menghakimi mereka. Menghasut lebih banyak lagi orang untuk tidak mau menolong mereka, bahkan tidak untuk sepeser pun.
Kita, orang-orang yang seharusnya bisa berbuat dan berpikir lebih, justru bertindak sebagai hakim. Menjatuhi hukuman terhadap orang-orang tersebut, berpura-pura tidak melihat mereka, berharap suatu hari mereka akan menghilang dan kita tak perlu lagi harus bertemu dengan seorang pun dari mereka di sekitar kita.
.
Saat itu, setelah selesai mengobrol dengan si bapak-bapak warung tersebut dan pulang ke rumah, aku menyempatkan diri melihat ke gerbang sekolahku yang kosong.
Sang Pengemis tersebut sudah tidak ada, dan takkan pernah kembali lagi.
Kuharap, suatu hari nanti, takkan ada lagi orang yang akan mengalami apa yang dia alami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar