M. Mirwan Islamy
Pagi itu saya duduk di bangku pojok paling belakang,
tepatnya
di ruang laboratorium komputer SMAN 2 KS Cilegon.
Saat
itu adalah jam pelajaran kami belajar Web Design. Saya
masih
ingat sekali suasana ricuh saat itu, suasana yang
mungkin
tak akan saya temui lagi. Obrolan sana-sini seakan
menyeruak
masuk seluruhnya ke dalam gendang telinga ini.
Tapi
entahlah, setiap detik kejadian saat itu justru kini menjadi
sesuatu
yang paling indah dalam kehidupan saya, dan hal ini
pula
yang menjadi awal langkah saya menuju impian yang
selama
kurang lebih 18 tahun terpendam.
Saat itu, Bu Erwina (guru BK) tiba-tiba masuk ke
dalam
lab
komputer. Beliau menyampaikan suatu informasi kepada
kami.
Awalnya saya tak tahu informasi apa yang akan beliau
sampaikan,
karena memang selama 3 tahun saya
mengenyam
pendidikan di „SMANDAKS‟, saya jarang sekali
berinteraksi
dengan guru-guru BK dan ruangannya itu. Beliau
masuk
dengan mimik wajah yang tak biasa dan membuat
pikiran
kami penuh tanda tanya. Entah mengapa tiba-tiba
jantung
ini berdetak kencang, seakan ada hal besar yang akan
disampaikannya.
Saat itu beliau mengumumkan beberapa nama siswa
yang
lolos untuk mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi
Negeri (SNMPTN) Jalur Undangan. Mereka adalah
siswa-siswi
yang berhasil menduduki peringkat 75% tertinggi
di
kelas, mengingat sekolah ini adalah Sekolah Bertaraf
Internasional
(SBI). Dari beberapa nama tersebut, disebutlah
nama
“Muhamad Mirwan Islamy” yang menduduki peringkat
kedua
di kelas. Subhanallah, senangnya hati ini mendengar
kabar
seperti itu.
Tapi ada satu hal yang tak bisa lepas dari pikiran
saya
saat
itu, “Mana mungkin saya melanjutkan pendidikan sampai
ke
perguruan tinggi?” Bisa bersekolah di SMA saja sudah
sangat
bersyukur, terlebih melihat keadaan ekonomi keluarga
yang
tak memungkinkan. Abah sudah 15 tahun lalu
meninggal,
sementara emak hanya seorang Ibu Rumah
Tangga
yang setiap bulannya memperoleh dana pensiun
almarhum
abah sebesar 1 juta rupiah. Saudara kandung saya
sudah
banyak yang berkeluarga, mereka tinggal bersama
keluarganya
masing-masing. Hanya tinggal kang Ferry dan
Teh
Ntu di rumah.
Setiap harinya emak selalu berhutang ke warung untuk
memenuhi
kebutuhan hidup keluarga. Bahkan emak rela
menghabiskan
dana pensiun itu hanya untuk membayar
tunggakan
rumah sakit saat akang sedang sakit. Sementara,
akang
teteh yang lain hanya mampu membantu semampu
mereka
saja. Setiap kali emak mendapatkan dana pensiun,
emak
pasti langsung menggunakannya untuk membayar
hutang-hutang
tersebut. Seperti istilah „Gali lubang tutup
lubang‟.
Entah sampai kapan keadaan ini akan terus
berlangsung.
Saya pun hingga kini belum bisa berbuat apa-apa
untuk
emak, hanya berjuang melalui prestasi terbaik yang
mungkin
bisa saya persembahkan untuk emak.
Semenjak pengumuman itu, rasanya pikiran ini tak
mau
berhenti berpikir mencari jalan agar saya bisa
melanjutkan
pendidikan di bangku kuliah. Mengingat dari 8
saudara,
hanya ada 1 orang yang bisa melanjutkan kuliah,
itupun
setelah ia memiliki pekerjaan dan gajinya digunakan
untuk
membiayai kuliahnya sendiri. Sementara, kesempatan
ini
adalah satu-satunya peluang besar yang mungkin akan
bisa
meloloskan diri ini ke perguruan tinggi ternama. Karena
memang
tidak semua orang bisa meraih prestasi ini, dan
hanya
mereka yang berjuang keras yang pantas
mendapatkannya.
Sejak itu, saya tak hentinya berdoa kepada
Allah,
semoga ada jalan keluar terbaik untuk semua ini.
Hingga keesokan harinya, Bu Erwina mendatangi
ruang
kelas saya di XII IPA 5. Saat itu sedang berlangsung
kegiatan
belajar mengajar bidang studi kimia. KBM pun
sejenak
terhenti. Ya, lagi-lagi beliau datang untuk
menyampaikan
informasi. Tapi informasi ini berbeda dari
biasanya.
Beliau mengumumkan beberapa nama siswa-siswi
yang
berhak mengikuti SNMPTN Undangan melalui beasiswa
Bidik
Misi. Beasiswa yang khusus diperuntukkan bagi rakyat
miskin
berprestasi. Bagi yang namanya disebutkan, maka ia
berhak
mengikuti SNMPTN Undangan tanpa biaya
sepeserpun
dan jika lolos seleksi nantinya akan diberikan
bantuan
dana untuk biaya hidup selama menempuh kuliah 8
semester
dan seluruh biaya akademik akan ditanggung oleh
beasiswa
bidik misi tersebut. Dan surprise, nama “Muhamad
Mirwan
Islamy” kembali terucap. Masyaallah, betapa
senangnya
saat itu. Rasanya seperti ada secercah harapan
yang
muncul dari setiap sudut kelas. Naufal (teman sebangku)
menjabat
tangan saya dan memberi ucapan “Selamet ya wan,
ini
langkah besar yang bakal lo ambil, dan gue yakin lo pasti
bisa
dapetin PTN favorit lo wan!”. Rezika dan Lina
(teman
depan
bangku) pun demikian, dengan guraunya mereka
memberi
candaan yang membuat saya semakin semangat
dan
yakin akan keberhasilan saya nanti. Saat itu pula saya
diberi
formulir bidik misi oleh bu Erwina. Saya segera mengisi
formulir
tersebut dan mengembalikannya kepada beliau.
Esoknya,
saya mendatangi ruangan BK untuk
mengetahui
lebih lanjut mengenai prosedur program beasiswa
bidik
misi. Rasanya aneh sekali, sudah berapa lama saya tak
menginjakkan
kaki diruangan ini atau sudah berapa lama
ruangan
ini tak saya kunjungi. Tapi sudahlah, hal itu tak
sangat
penting untuk saya, yang sekarang harus dilakukan
ialah
memperoleh informasi sebanyak-banyaknya mengenai
bidik
misi. Lantas saya membuka buku panduan bidik misi,
langsung
saja saya baca seluruh prosedur-prosedurnya dan
tak
lupa saya lihat kuota bidik misi di masing-masing
perguruan
tinggi negeri. Bu Erwina pun menyarankan saya
untuk
segera daftar SNMPTN Undangan jalur bidik misi dan
memilih
satu PTN dengan maksimal 2 program studi yang bisa
dipilih.
Sebelumnya, Bu Erwina memberikan pin untuk
melakukan
registrasi tersebut.
Saat melakukan registrasi SNMPTN Undangan, entah
apa
yang terlintas dalam benak saya. Tiba-tiba saya terdorong
dan
termotivasi untuk memilih Institut Pertanian Bogor (IPB)
dengan
program studi Teknik Mesin dan Biosistem. Tapi
sepengetahuan
saya saat itu, IPB adalah kampus rakyat dan
sangat
ternama di Indonesia. Dikenal baik oleh masyarakat
dan
masyhur dikata orang. Mengabdi pada Indonesia untuk
memajukan
sektor pertanian Indonesia. Memberikan
kontribusi
yang baik guna mencukupi kebutuhan pangan di
Indonesia.
Setelah itu, saya kembali pulang menuju rumah
tercinta
dengan senyuman termanis. Dengan senangnya, saya
menyapa
setiap warga disekitar rumah dan sekeliling
kampung.
Bersenda gurau dengan emak, kang Ferry dan teh
Ntu.
Mungkin hari itu adalah hari yang sangat berkesan bagi
saya.
Selama ini saya tak pernah beranggapan untuk bisa
mengikuti
seleksi SNMPTN seperti yang dibayangkan.
Bagaimana
tidak, untuk mengikuti seleksi reguler diperlukan
biaya
sedikitnya 150.000 rupiah. Uang sebesar itu darimana
saya
dapatkan, sementara saat itu lahan kantong mulai
mengering
dan sedang banyak kebutuhan-kebutuhan yang
menurut
saya jauh lebih penting guna menunjang prestasi
akademik
di sekolah.
Hingga akhirnya pengumuman seleksi SNMPTN
Undangan
pun tiba. Malam itu, seusai melaksanakan shalat
isya‟,
saya bergegas menuju warnet terdekat. Langsung saya
buka
web SNMPTN Undangan. Lagi-lagi nikmat itu datang.
Saya
dinyatakan lolos seleksi SNMPTN Undangan dan
diterima
di Institut Pertanian Bogor dengan program studi
Teknik
Mesin dan Biosistem. Tanpa pikir panjang saya
bersujud
untuk mensyukuri nikmat Allah yang besar ini.
Dengan
bangganya saya kembali kerumah dan memberikan
kabar
kepada emak, keluarga, dan tetangga sekitar bahwa
saya
diterima di IPB. Tak Cuma itu, saya juga lantas
mengabarkan
hal ini kepada teman-teman dan sahabat karib.
Bahagianya
saat itu laksana sedang tertimpa durian yang
runtuh
dari pohonnya. Sepertinya malam itu mata saya
enggan
terpejam untuk memandang senyuman emak dan
keluarga.
Terlebih emak seakan tak percaya, anaknya yang
bungsu
ini berhasil menembus impian keluarga untuk
melanjutkan
perjalanan hidup ke jenjang yang lebih baik.
Subhanallah.
Esoknya saya mendatangi sekolah dan bergegas
menuju
ruangan BK. Saya langsung mengabari hal tersebut
kepada
Bu Erwina. Namun sayang, Bu Erwina berkata
bahwasannya
saya memang diterima di IPB tapi bukan berarti
saya
otomatis mendapatkan beasiswa bidik misi tersebut.
Masih
ada beberapa langkah lagi yang harus ditempuh untuk
mendapatkan
beasiswa tersebut. Diantaranya ialah
pengiriman
berkas-berkas bidik misi dan seleksi wawancara
yang
akan dilakukan oleh pihak IPB.
Hingga
hari itu tiba. Dengan penuh harapan, saya
meminta
doa dan restu dari emak. Pukul 01.00 dinihari saya
dan
kang Opik bertolak dari Serang, Banten menuju kampus
IPB
Dramaga Bogor. Namun sayang, tak ada bis yang
menuju
Bogor malam itu. Jangankan tujuan Bogor, tujuan
Jakarta
saja tak ada satupun yang muncul. Akhirnya dengan
sangat
terpaksa kami beristirahat di terminal Pakupatan
Serang
menunggu esok tiba. Pukul 04.30 pagi kami bangun
dan
bersiap menunggu bis Bogor, tapi masih saja tak
bermunculan.
Sementara keresahan saya saat itu tak bisa
terpendam
lagi. Bagaimana tidak, persyaratan registrasi saat
itu
diwajibkan hadir di gedung Graha Widya Wisuda IPB pada
pukul
08.00 wib. Jujur, saat itu saya takut sekali nama saya
akan
di diskualifikasi, dan dianggap hangus. Sementara air
mata
mulai membendung disetiap kelopak mata. Kang opik
dengan
lembutya menenangkan diri ini. “Sabar wan, pasti
nyampe
kok ke Bogor mah paling cuma 3 jam-an” katanya.
Tapi
tetap saja hati ini dongkol, rasanya kesalahan saya juga
kenapa
tidak berangkat kemarin sore bersama Ulya teman 1
SMA.
Akhirnya kami berangkat dengan bis tujuan Kampung
Rambutan
Jakarta. Tiba di Jakarta dan segera mencari bis
tujuan
Bogor, dalam hati saya berkata “Alhamdulillah, akhirnya
ada
juga bis yang ke Bogor”. Saat itu kami tiba di IPB pukul
11.00
wib. Telat 3 jam dari yang seharusnya. Tapi untungnya
proses
registrasi saat itu masih berlangsung dan saya masih
bisa
mengikutinya. Alhamdulillah ya Allah.
Saat itu akan diadakan seleksi wawancara bidik misi.
Sekitar
kurang lebih 900 calon mahasiswa pelamar beasiswa
bidik
misi dipisahkan dan digolongkan sesuai dengan
fakultasnya
masing-masing. Hingga wawancara selesai, saya
menemuni
kang Opik yang sudah lama menunggu di luar.
Rupanya
besok ia ada urusan penting dengan pekerjaannya di
Serang,
jadi hari itu juga dia harus kembali ke Serang.
Sementara,
saya tetap di Bogor dan bermalam di Asrama
Banten
untuk mengikuti stadium general di GWW esoknya,
sekaligus
akan diumumkan nama-nama calon mahasiswa
yang
lolos seleksi wawancara bidik misi.
Hingga tiba waktunya pengumuman, nama demi nama
disebutkan
di masing-masing fakultas. Tiap nama yang
disebutkan
maju ke depan meja panitia dan dipersilahkan
untuk
mengambil surat pemberitahuan diterima atau ditolak
untuk
mendapatkan beasiswa bidik misi tersebut. “Dag dig dug
dag
dig dug dag dig dug” rasanya jantung ini berdebar 100 kali
lipat
dari biasanya. Maka disebutlah nama saya pada saat itu,
saya
maju ke depan dan mengambil surat itu. Dan ternyata
saya
„DITOLAK‟. Entah apa yang membuat saya ditolak saat
itu,
tapi mungkin karena pelamar bidik misi yang begitu
banyak
sementara kuota hanya 500 orang saja.
Kecewa sekali saat mendengar berita itu. Air mata
seakan
tak bisa dibendung lagi. Seperti gunung meletus yang
memuntahkan
seluruh isinya. Saya tidak tahu harus
bagaimana
lagi. Saya tidak tahu bagaimana reaksi Emak,
kang
Opik dan keluarga jika kabar itu sampai ditelinga
mereka.
Saya tidak mampu memberikan kabar saat itu.
Sungguh
kelamnya hari itu.
Dengan perasaan sedih dan kecewa saya bertolak
kembali
menuju kampung halaman. Di dalam bis, masih saja
terasa
linangan air mata ini menetes di pipi. Asa dan harapan
yang
dahulu menggebu-gebu kini sirna bak ditelan bumi.
Entah
pergi kemana mereka, saya tak tahu.
Tiba
dirumah saya langsung masuk menuju kamar
yang
kecil itu. Emak lantas mendatangi saya dan bertanya
“Sudah
belum registrasinya wan? Gimana beasiswa
bidikmisinya
dapet ga?”. Rasanya saya tak sanggup
mengatakannya
pada emak. Lagi-lagi air mata ini menetes
dengan
mudahnya saat melihat wajah tua itu. Wajah yang
selama
ini merawat dan membesarkan jiwa raga ini. Ya Allah,
saya
bingung sekali. Saya tak tahu harus berkata apa pada
emak,
saya takut emak dan keluarga kecewa akan berita ini.
Saya
terdiam dan lantas pergi keluar meninggalkan emak,
emak
pun kembali melakukan aktivitas sehari-harinya di
dapur.
Saya kembali ke kamar dan mengunci pintu kayu itu.
Berniat
menghabiskan seluruh air mata ini agar tak kembali
mengalir.
Galau sekali saat itu, laksana orang gila yang tak
bisa
berbuat dan berpikir apa-apa lagi. Terdengar suara pintu
diketuk
oleh kang Opik dan emak yang berada di balik pintu.
Dengan
sekuat hati saya buka pintu itu. Dengan penuh
ketegaran
hal itu terlontar dari lidah saya, “Wawan ditolak
mak,
tapi katanya masih ada kesempatan untuk dapetin bidik
misi
lagi. Karena yang diterima baru 450 orang dan kuota ada
500
orang yang bakal dapet bidik misi. Doain aja ya mak,
semoga
Wawan bisa dapet bidik misinya”. Tak kuat hati ini
melihat
wajah-wajah itu. Wajah yang tak sangat asing dalam
hidup
ini. “Ya sudah, Wawan berdoa aja sama Allah semoga
bisa
dapetin beasiswanya. Kalau memang rejeki mah ga bakal
kemana,
Wan!” kata kang Opik. Terlihat wajah emak
menunduk
membelakangi wajahnya. Terlihat ada kekecewaan
yang
tampak di wajah wanita penyabar itu. Tapi akhirnya
kejadian
menyedihkan itu langsung lenyap begitu saja.
Mereka
kembali beraktivitas dan meninggalkan diri ini. Ya
Allah,
besar sekali harapan saya untuk mendapatkan
beasiswa
bidik misi tersebut. Seakan menjadi hal terbesar
yang
akan saya berikan untuk keluarga dirumah jika diterima
nanti.
Tapi sudahlah, mungkin bukan jalannya.
Tanggal 27 juni 2011 harus sudah berada di asrama
putra
TPB IPB. Saya tetap memaksakan diri berangkat
menuju
kampus IPB Dramaga tersebut, walau biaya yang
dibayar
baru 100.000 rupiah saja. Hanya berbekal uang
300.000
rupiah saja saat itu, kebetulan emak sedang dapat
rejeki
dari kerabatnya. Emak dengan sibuknya membantu
mengemasi
barang-barang yang akan saya bawa ke asrama.
Tak
tega rasanya pergi meninggalkan rumah, meninggalkan
emak
dan keluarga, serta lingkungan Palas. Tapi ini satusatunya
jalan
yang harus dilewati. Saat itu saya menumpang
di
mobil Yenni, teman satu SMA yang juga diterima di IPB di
departemen
Ilmu Komputer. Diantarnya saya hingga depan
GWW.
Saya melakukan registrasi ulang guna melengkapi
persyaratan
akademik. Lagi, lagi dan lagi, air mata ini
berlinang
dengan derasnya. Tak kuat melawan perkataan
salah
seorang Dosen saat itu. Saya diminta untuk membayar
biaya
pendaftaran sebesar 6.580.000 rupiah, minimal saya
harus
bisa membayar setengah harga sebagai uang muka.
Namun
apa daya, saya tak punya uang sebanyak itu. Saudara
pun
tak sanggup membayarnya. Keluarga pun memutuskan
kepada
saya untuk mundur saja dari IPB. Tapi saat itu saya
bertemu
kak Reza Pahlevi, seorang Presiden mahasiswa IPB.
Ia
lantas menguatkan semangat saya untuk tetap bertahan di
IPB
dan berjuang. “Sabar ya, masih ada kesempatan yang lain
kok.
Beasiswa lain juga masih banyak kok di IPB”, katanya.
Kemudian
Kak Reza mengantar saya menuju meja registrasi
untuk
bertemu dengan salah seorang dosen dari Fakultas
Kedokteran
Hewan. Lantas saya diminta oleh mereka untuk
menandatangani
kontrak perjanjian pelunasan biaya yang
diundur
hingga bulan Oktober mendatang. Sebelumnya saya
meminta
persetujuan keluarga dan mereka menyetujuinya.
Segera
saya hapus air mata, dan menandatangani kontrak
perjanjian
berwarna kuning itu. Saya lantas meninggalkan
GWW
menuju asrama dengan barang bawaan yang begitu
beratnya.
Hari demi hari saya lewati di asrama. Hingga suatu
hari
saya
mendapat sms dari BEM KM IPB yang menyatakan
bahwa
mereka masih mencari sekitar 15 orang untuk
mendapat
beasiswa bidik misi. Rupanya masih ada peluang
untuk
saya. Saya diminta untuk mengikuti wawancara di
gedung
rektorat IPB. Sampai suatu ketika saya diberitakan
“DITERIMA”
untuk mendapatkan beasiswa bidik misi tersebut.
Senang,
gembira dan bahagia rasanya berbaur menjadi satu
dalam
benak ini. Tak tanggung-tanggung saya langsung
mengabarkan
hal itu pada Emak dan keluarga melalui telepon.
“Alhamdulillah Wan, emak pasti seneng
dengernya”, suara itu
terdengar
dari suara kang Opik di rumah. Pastinya emak pun
akan
sebahagia seperti apa yang saya pikirkan. Entah doa
apa
yang emak dan keluarga panjatkan. Saya tak tahu dan tak
mau
tahu. Nikmat ini datang dengan indahnya.
***
Ya
Allah, terima kasih. Alhamdulillah, akhirnya saya
bisa
mendapatkan beasiswa ini. Menempuh pendidikan
dijenjang
yang lebih tinggi bersama sahabat-sahabat baru.
Dengan
ini, setidaknya saya telah mempersembahkan hal
terbaik
yang saya berikan untuk Emak. Ya, mungkin juga hal
ini
adalah hal terbesar yang pernah saya berikan untuk Emak.
Dan
sekarang, tinggal bagaimana langkah saya selanjutnya
menempuh
pendidikan di IPB ini hingga tamat. Masih banyak
hal
yang harus saya lakukan untuk itu. Dan semoga saja apa
yang
saya cita-citakan dan apa yang emak harapkan bisa
terwujud
suatu saat nanti. Amiin. Sekali lagi, Terima Kasih
saya
ucapkan kepada Allah SWT dan Direktorat
Kemahasiswaan
IPB yang telah memberikan kesempatan
pada
saya untuk mengenyam pendidikan di IPB ini. Semoga
bisa
menghasilkan sesuatu yang bermakna di kemudian kelak,
Amiin
Yaa Robbal „Alamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar